• Bagikan

Jakarta - Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik, Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kominfo, mengadakan FGD “Studi Pengembangan Cyber Government Public Relation di Gedung BPPT, Lt.3 (11/08). FGD ini bertujuan untuk meyempurnakan perumusan model dan rekomendasi penelitian Cyber GPR, yang diketuai oleh Rieka Mustika, dengan narasumber Basuki Yusuf Iskandar, Reza, Irwansyah, Nursodik Gunarjo, dan M.Taufiq Hidayat.

Penelitian ini dilatarbelakangi dari kebutuhan Ditjen IKP KemKominfo yang membutuhkan model pengelolaan opini publik yang efektif, terkait dengan tugas dan fungsi Government Public Relation. Keberhasilan suatu program pemerintah antara lain ditentukan oleh berhasil atau tidaknya komunikasi pemerintah dengan Publik melalui PR. Peran PR pemerintah acapkali menjadi sorotan Publik berkaitan dengan sering terjadinya kesimpangsiuran informasi karena banyaknya sumber informasi dari berbagai media. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi Ditjen IKP dalam pelaksanaan tusi mereka, khususnya mengenai Government Public Relation.

Basuki Yusuf Iskandar menyarankan untuk memberikan rekomendasi yang belum ada di IKP. “kita harus mendasarkan kondisi di IKP seperti apa, harus ada sesuatu yang belum dilakukan IKP. Yang penting adalah produksi konten, bagaimana mengatasi emergency issue, dan untuk mengatasinya tidak harus real time. Sehingga yang bisa dilakukan Bu Dirjen dengan membuat studio TV khusus wawancara dengan para ahli. Jadi begitu ada issue dapat langsung ditayangkan dengan channel yang paling banyak diakses, missal detik.com, dan harus di update, dan ada running text-nya. Problemnya bagaimana mengumpulkan data melalui channel yang baik dengan jangkauan luas,” ujar Kepala Badan Litbang SDM, KemKominfo tersebut.

Mengomentari masukan dari Basuki Yusuf Iskandar, Irwansyah mengatakan bahwa penelitian ini tidak berdasarkan teori tapi action riset. “Kita melakukan pengembangan strategi yang ada. Tata kelola merupakan salah satu bagian yang harus diperkuat. Bagaimana kita menyusun sebuah perangkat mulai dari sistem sampai konten. Maka salah satu termologinya dengan agenda building. Tematik issue tiap Kementerian pasti berbeda, maka kita harus membangun agenda building. Dalam membangun tata kelola untuk hal tersebut diperlukan tim khusus. Jadi tiap K/L/Intitusi negara dapat menjadi sebuah jaringan untuk menghadapi warga negara yang sudah berjaringan, sehingga dengan mudah bisa akses ke antar Kementerian,” ujar Dosen Universitas Indonesia tersebut.

Ia juga menambahkan bahwa posisi Pemerintah dalam menerapkan cyber GPR, tidak bisa memuaskan siapapun.

Sementara Reza dari Kementerian Keuangan menjelaskan bagaimana caranya menghimbau K/L lainnya untuk melakukan penguatan asset digital. “Belum tentu semua Kementerian memiliki asset digital yang kuat, maka yang dapat kita lakukan dengan menghimbau mereka untuk melakukan penguatan itu. Sebetulnya kita sudah ada inpres itu (digital asset), untuk narasi tunggal disarankan perlu penyempurnaan. Maka apabila ada K/L yang sudah bisa melakukan narasi tunggal, dapat dikirimkan ke Kominfo. Kita perlu set up agenda dalam setahun, kita mau eksekusi apa? Dengan begitu, narasi tunggal akan lebih efektif bila dilakukan dengan perencanaannya baik, dibandingkan dengan semua K/L melakukan blast. Karena pada saat ada content yang di blast pasti ada profil Kementerian terkait, hal itu akan mempengaruhi. Alangkah baiknya kalau yang ditampilkan dapat mewakili semua Kementerian, sehingga terlihat kalau kita semua berjalan bersama. Dan bila ada isu yang sifatnya Nasional, kita bisa mengundang K/L yang terlibat sehingga bisa dilakukan benchmarking,” ujar pewakilan tim Humas Kementerian Keuangan tersebut.

Nursodik Gunarjo, mengungkapkan probematika di Ditjen IKP. “Ada satu hal yang menjadi problematika IKP di era cyber yaitu masyarakat yang terbelah. Di ranah cyber ada ranah dikotomi yang hebat, apalagi kita sudah pakai medsos yang termonologinya me and you. Ini menjadi masalah untuk menetapkan kebijakan terkait cyber. Ada dua kelompok besar, yang pro government dan anti government. Hal ini terlihat di medsos tiap kali ada isu publik yang digulirkan. Kami menduga telah terjadi gejala resonansi dalam ruangnya sendiri, pesan-pesan ini kelihatan tapi tidak menyebrang ke kelompok sebelah, ada juga silent community yang tidak beropini, mereka inilah yang perlu disentuh. Maka bagaimana kita pada penelitian ini merekomendasikan supaya cyber GPR tidak sekedar menghasilkan pesan-pesan, tapi juga bisa menyentuh silent community yang sangat banyak,” ujar Kasubdit Penyediaan Informasi, Direktorat PPI, Ditjen PPI KemKominfo tersebut.

M. Taufiq Hidayat menambahkan bahwa sekarang pada prinsipnya semua bukan lagi di produksi oleh Pemerintah. “Pemerintah selalu berbicara dengan caranya sendiri, KemenKeu sudah mulai membenahi hal ini. Strategi dan kolaborasi media belum pernah muncul, padahal konsentrasi Presiden dengan membuka trend topik, maksudnya supaya dapat berkomunikasi langsung. Konsepnya adalah orkestrasi. Dalam tataran sederhana, tidak perlu menyebarkan informasi yang sama sampai ke daerah tapi juga menawarkan bagaimana mereka bisa memanfaatkan jejaring yang dimiliki IKP, bukan hanya sekedar menyebarkan informasi. Jadi tidak perlu membangun studio, tapi kenapa tidak kerja sama bareng saja, misalnya kemenkeu punya acara di TV, kita bisa ambil sedikit slotnya”, ujar Kasubbid Portal dan Konten, PDSI KemKominfo tersebut. (NM)


Label
puslitbang aptika dan ikp, fgd, cyber gpr