• Bagikan

Jakarta - Puslitbang Aplikasi Informatika dan Informasi dan Komunikasi Publik, Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Kominfo, mengadakan FGD “Studi Supply dan Demand Layanan Akses Internet Whitelist: Pendekatan Mekanisme Pasar untuk Menciptakan Internet Sehat”, di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (16/08).

Kiki Veriko menjelaskan hasil penelitian yang menunjukkan 78% responden menganggap whitelist on demand. “Dari hasil penelitian, 78% responden menganggap whitelist ini on demand, hasil FGD Internet Service Provider (ISP) juga menunjukkan whitelist ini on demand. Jika dikaitkan, maka whitelist bukanlah suatu filtering, bukan juga substitusi untuk blacklist. Whitelist ini berdasar pada kebutuhan masyarakat yang membutuhkan konten positif”, ujar peneliti sekaligus dosen LPEM, FEB, UI tersebut

Ia juga menjelaskan bahwa hasil penelitian ini ingin mengetahui peran pemerintah terkait whitelist. “Dari hasil penelitian terlihat permintaan whitelist on demand. Di sini pemerintah dapat masuk dari sisi supply dengan cara meng-gratiskan whitelist untuk masyarakat. Pemerintah dapat masuk pada on demand, dan produk, bukan pada filtering”.

Handoyo Taher, mewakili Jamalul Izza, mengungkapkan dukungannya pada program whitelist pemerintah, namun dengan tidak dibebankan perangkat dan tidak dengan metode Domain Name System (DNS). “Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pasti dan akan terus mendukung whitelist pemerintah. Semua ISP sebenarnya pasti dan akan mendukung program whitelist, namun jika dibebankan perangkat atau infrastruktur pasti akan terjadi masalah, karena terkait biaya. APJII juga akan selalu mendukung whitelist pemerintah, namun tidak dengan metode DNS karena tidak efektif. Dikarenakan ada pergeseran web based ke apps based sehingga filtering beralih ke informasi yang awalnya web based menjadi apps based. Karena itu, APJII akan memfasilitasi anggotanya agar mereka dapat memberikan layanan internet sehat”, ujar Kabid Organisasi Keanggotaan APJII tersebut.

Sementara M.Yamin mengungkapkan bahwa dengan adanya whitelist dapat melengkapi blacklist. ”Blacklist masih banyak kekurangannya, yang paling penting bagaimana pengelolaan database, yang memiliki kelemahan jika tidak terkontrol. Pengelolaan database di blacklist sama dengan pengelolaan database di whitelist. Whitelist tidak dapat menggantikan blacklist, melainkan melengkapi blacklist. Bagaimana cara melengkapinya? Biaya untuk whitelist sebenarnya tidak besar, saat ini sistemnya sudah berjalan dan sudah terpasang 1 (satu) servernya di Pusdatin dan sudah siap dioperasikan. Blacklist harus cepat responnya, karena impact-nya cepat. Sedangkan whitelist tidak perlu cepat. Jika salah memasukkan data dalam blacklist masih dapat diperbaiki. Sedangkan whitelist tidak boleh salah, jadi harus teliti”, ujar Direktur Eksekutif Yayasan NAWALA Nusantara, M. Yamin tersebut.

Sigit Widodo mengatakan bahwa pendidikan merupakan unsur penting bagi masyarakat, di sinilah Kominfo hadir dengan sistem whitelist. “Faktor pendidikan merupakan unsur penting bagi masyarakat. Saat memberikan edukasi dibutuhkan tools untuk melengkapinya, sehingga Kominfo hadir dengan sistem whitelist. DNS filtering untuk whitelist cukup efektif. Iklan-iklan porno dan aplikasi dengan konten porno akan tersaring. Karena iklan-iklan itu juga merujuk pada situs, jika situsnya tidak masuk dalam daftar whitelist maka iklan-iklan tersebut tidak akan masuk. Akan ada duplikasi server untuk database, sehingga permasalahan server akan tertangani”, ujar Ketua Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) Bidang Sosialisasi dan Komunikasi tersebut.

Ia juga menyarankan untuk membuat daftar kategori database. “PR nya saat ini ada di database, secara sistem sudah siap namun database masih terbatas. Mayoritas kami ambil dari domain . (dot) id, karena proses pendaftarannya aman. Tetapi belum tentu sesuai untuk anak-anak SD, SMP. Karena itu perlu dikategorikan, saat ini baru ada 1 (satu) kategori yaitu sekolah. Kedepannya harus dibedakan, kategori SD, SMP dan SMA. Membuat daftar dari kategori tersebut-lah yang menjadi PR. Sistem sudah siap secara teknis tetapi database masih belum siap. Penyusunan database perlu juga melibatkan berbagai pihak, misalnya database untuk pesantren melibatkan Kemeterian Agama. Kita juga perlu bekerjasama dengan ISP dan operator telekomunikasi.

Sementara Riant Nugroho menyarankan untuk membuat packaging whitelist lebih menarik, sehingga dibutuhkan masyarakat. “Jangan jadikan whitelist sebagai perintah, tetapi jadikan sebagai (seolah-olah) pilihan, dengan membuat packaging yang menarik. Sehingga masyarakat merasa membutuhkan whitelist. Dalam hal ini Kominfo dapat bekerjasama dengan Diknas, dengan program dan kebijakan Kementerian lainnya. Perlu juga menjalin kemitraan dengan pelaku layanan telko, dan sekolah. Brand-nya jangan bagaimana mengimplementasikan internet sehat, tetapi how to save society, mengajak semua orang”, ujar Pakar komunikasi Publik tersebut. (NM)


Label
puslitbang aptika dan ikp, fgd, whitelist